Hadits Palsu Tentang Kewajiban Mengenal Imam Kaum Muslimin
HADITS PALSU TENTANG KEWAJIBAN MENGENAL IMAM KAUM MUSLIMIN
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَعْرِفْ إِمامَ زَمانِهِ ماتَ مِيْتَةً جاهِلِيَّةً
Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan tidak mengenal imam (kaum Muslimin) di jamannya maka dia mati Jahiliyah.”
Hadits ini adalah hadits palsu dan tidak asal-usulnya, meskipun sering dinukil oleh beberapa kelompok sesat, seperti Ahmadiyah, Syi’ah dan lain-lain, dengan tujuan untuk melariskan ‘dagangan’ bid’ah dan kesesatan mereka. Yaitu menjadikan imam yang mereka pilih dan tentukan sebagai imam pemimpin kaum Muslimin secara keseluruhan sehingga mereka wajib membai’at (berjanji setia) kepadanya.
Hadits ini populer dan banyak dinukil oleh orang-orang Syi’ah di buku-buku mereka[1], karena kandungan hadits ini jelas sangat mendukung keyakinan sesat mereka.
Bahkan salah seorang Ulama mereka yang bernama al-Kulaini meriwayatkan hadits palsu ini dengan sanadnya sampai kepada Abu ‘Abdillah al-Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma[2]. Tentu saja semua ini palsu dan dusta atas nama cucu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, al-Husein bin ‘Ali Radhiyallahu anhuma, sebagaimana kebiasaaan orang-orang Syiah yang selalu berdusta atas nama ahlul bait keturunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits ini ditegaskan oleh para Ulama Ahlus sunnah sebagai hadits palsu dan tidak ada asal-usulnya dalam kitab-kitab hadits yang ada di tangan para Ulama ahli hadits.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadits dengan lafazh (seperti) ini tidak dikenal (tidak ada asal-usulnya).”[3] Pernyataan Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dalam Mukhtasharu Minhâjis sunnah” (hlm. 28), dan cukuplah mereka berdua sebagai argumentasi dalam menilai hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini .[4]
Syaikh al-Albani juga menghukumi hadits ini sebagai hadits yang tidak ada asal-usulnya dengan lafazh seperti ini.[5]
Kemudian matan (isi/kandungan) hadits ini juga bertentangan dengan beberapa hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , misalnya:
Hadits Pertama, dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَحُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan (kepada penguasa kaum Muslimin di negerinya) maka dia akan bertemu Allâh pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada argumentasi baginya (untuk menyelamatkan dirinya), dan barangsiapa mati dalam keadaan di lehernya tidak ada bai’at (kepada penguasa kaum Muslimin di negerinya), maka dia mati dengan cara kematian Jahiliyah.[6]
Hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban berbai’at itu ditujukan kepada pemimpin dan penguasa kaum Muslimin di negeri mereka, dan bukan ditujukan kepada pemimpin masing-masing kelompok, karena jelas ini akan menimbulkan kekacauan disebabkan masing-masing kelompok akan mengklaim bahwa pemimpin mereka yang wajib dibai’at. Sebagaimana ancaman yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu mati dengan cara kematian Jahiliyah, ini berlaku bagi orang yang meninggalkan bai’at syar’i (yang sesuai dengan syariat Islam) ini, yaitu dengan melepaskan diri dari ketaatan kepada pemerintah kaum Muslimin dan memberontak kepada mereka.[7]
Hadits Kedua, dari Hudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu ketika dia bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah dan keburukan yang akan muncul di akhir zaman, dia bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keburukan tersebut?’ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Hendaknya) kamu berpegang teguh dengan jama’ah kaum Muslimin dan imam mereka.” Hudzaifah Radhiyallahu anhu bertanya lagi, “Kalau mereka tidak mempunyai jama’ah dan imam (yang satu dan disepakati semua)? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Kalau begitu tinggalkan semua kelompok-kelompok yang ada, walaupun (karena itu) kamu (harus) menggigit erat-erat akar pohon (sendiri) sampai datang kematianmu dan kamu dalam keadaan seperti itu.”[8]
Hadits ini menunjukkan bahwa akan datang suatu zaman yang waktu itu kaum Muslimin tidak memiliki jama’ah yang satu dan imam (pemimpin) yang satu[9]. Maka ketika itu terjadi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menjauhi semua kelompok yang mengaku bahwa merekalah jama’ah kaum Muslimin dan imam merekalah yang wajib dibai’at, kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berepegang teguh dengan kebenaran meskipun kita sendirian sampai datang ajal menjemput. Dalam hal ini, Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “al-Jama’ah adalah yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu sendirian (yang berpegang teguh dengannya).”[10]
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Dalam hadits ini (terdapat faidah) bahwa ketika kaum Muslimin tidak memiliki seorang imam (yang disepakati) sehingga mereka berpecah belah menjadi kelompok-kelompok, maka tidak boleh kita mengikuti satupun kelompok yang berpecah belah itu dan (wajib) untuk menjauhi semua kelompok itu jika kita sanggup melakukannya, dalam rangka menghindari terjerumus di dalam keburukan (fitnah)”[11].
KESIMPULANNYA.
Hadits ini adalh hadits palsu dengan matan yang bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga hadits ini tertolak dari segi riwayah (sanad periwayatan) dan dirayah (kandungan dan isinya).
Maka cukuplah kita berpegang teguh dengan hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintah kita untuk berpegang teguh dengan pemerintah kaum Muslimin yang ada di negeri kita dan tidak boleh berpaling dari ketaatan kepada mereka, apalagi sampai memberontak dan melawan mereka.
Tentu saja dengan tetap menasehati dan meluruskan kesalahan mereka dengan cara yang baik, lembut dan tidak terang-terangan di depan umum. Inilah aqidah yang benar dan ditetapkan oleh para ulama Ahlus sunnah di kitab-kitab tulisan mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 5/88
[2] Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/525
[3] Kitab Minhajus Sunnatin Nabawiyyah, 1/110
[4] Lihat kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/525
[5] Kitab Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/525
[6] HSR Muslim, no. 1851
[7] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi, 8/132
[8] HSR. Al-Bukhâri, 6/2595 dan Muslim, no. 1847
[9] Lihat penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, 13/35
[10] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igâtsatul Lahfân, 1/70
[11] Dinukil oleh Imam al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, 6/321
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6729-hadits-palsu-tentang-kewajiban-mengenal-imam-kaum-muslimin.html